Seri Lokakarya: Pengembangan Kampung Berkelanjutan ini dilaksanakan oleh kerjasama Muliantara dengan WWF – Indonesia untuk mitra WWF – Indonesia dalam program Leading the Change, mitra WWF – Indonesia dan staf WWF – Indonesia dari berbagai daerah. Lokakarya ini diikuti oleh peserta dari Aceh, Riau, Jambi, Jakarta, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, dan Papua Barat.
Lokakarya dilaksanakan pada bulan September hingga Oktober 2020 selama empat minggu dengan delapan kali pertemuan secara daring dan interaktif memanfaatkan berbagai aplikasi seperti Zoom, Google Sheet, Jamboard, Mural, dan Mindmanager. Lokakarya ini terbagi dalam tiga sesi: 1. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, 2. Perubahan Iklim dan Pembangunan, dan 3. Pengembangan Kampung Berkelanjutan.
Lokakarya ini bertujuan implementasi pengembangan Kampung Berkelanjutan dengan mempelajari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB), Perubahan Iklim dan Pembangunan, Pemberdayaan Masyarakat, Pengkajian Penghidupan Berkelanjutan, Pengumpulan Data, Identifikasi dan Analisis Masalah, Perancangan Kampung Berkelanjutan, Monitoring, Evaluasi, dan Learning (MEL), berbagi pengalaman peserta mengenai pengembangan Kampung Berkelanjutan di wilayah masing-masing dan uji coba modul Pengembangan Kampung Berkelanjutan.
3. Seri Lokakarya Pengembangan Kampung Berkelanjutan – Penggalian Data, Analisis Masalah, Perancangan, & MEL
Dalam sesi pengembangan kampung berkelanjutan terdiri dari 6 pertemuan dengan materi pemberdayaan masyarakat, pengkajian penghidupan berkelanjutan, pengumpulan data, identifikasi dan analisis masalah, perancangan kampung berkelanjutan, monitoring, evaluasi, dan learning (MEL), serta ditutup dengan rencana tindak lanjut. Rangkaian materi ini dilaksanakan mulai dari Kamis, 24 September 2020 hingga Jumat, 9 Oktober 2020.
Pemberdayaan Masyarakat
Materi Pemberdayaan Masyarakat disampaikan oleh Ibu Cristina Eghenter (Tata Kelola dan Penguatan Masyarakat di WWF Indonesia). Di awal pemaparan Ibu Cristina menyampaikan bahwa saat masuk ke dalam masyarakat selain kita sebagai fasilitator ingin mengenal masyarakat, begitu pun dengan masyarakat yang juga ingin mengenal kita. Seberapa terbuka hati masyarakat dengan kita itu akan menjadi pembeda. Dari awal kita harus jelas menyampaikan ke masyarakat apa yang bisa kita bantu dan apa yang tidak bisa kita bantu agar mereka tidak berekspetasi tinggi. Kita harus jujur dari awal. Selain itu, membangun kepercayaan menjadi entry point saat masuk ke masyarakat.
Salah satu peserta lokakarya yaitu Chilvester (Papua Barat) menyampaikan jika kita ingin memulai sebuah kegiatan di komunitas, menurutnya yang paling penting adalah mengenai sosial budaya. Masyarakat kampung itu tidak melihat siapa yang datang, melainkan melihat apa yang orang itu lakukan, terutama yang datang menggunakan bahasa ibu, masyarakat mengganggap identitasnya diangkat.
Partisipasi masyarakat dalam upaya pemberdayaan masyarakat sangat penting, bagaimana mengkondisikan semua unsur masyarakat dapat terlibat, mengambil peran dalam kegiatan, memimpin, dan memahami manfaatnya yang disesuaikan dengan budaya dan situasi lokal. Trik fasilitasi menjadi kunci untuk membangun rasa saling percaya dan hubungan komitmen bermitra untuk melakukan kegiatan yang tidak boleh dibatasi waktu. Urusan saling percaya tidak hanya antara fasilitator-masyarakat tetapi antar masyarakat juga. Sebagai fasilitator perlu yang perlu dijaga adalah posisi, harus waspada, dan menjaga agar tetap netral. Menurut Fero (Papua Barat) untuk membangun partisipasi masyarakat ialah dengan membangun kepercayaan mereka terhadap apa yang kita kerjakan bermanfaat bagi mereka.
Selanjutnya salah satu hal yang penting dalam pemberdayaan masyarakat adalah terkait dengan kesetaraan gender. Kesetaraan Gender merupakan upaya kita melibatkan kaum perempuan sebagai subjek, pembangunan juga dan melihat bagaimana kaum lelaki mau menerima dan mau saling belajar. Di kondisi tradisional, kaum perempuan lebih minoritas. Oleh karena itu edukasi bagi kaum lelaki secara internal mereka dapat membangun kesetaraan yang akan menjadi kekuatan mereka dalam upaya pembangunan desa atau kampung mereka.
Nurwida (Aceh) mengatakan dalam melakukan pendampingan, fasilitator perlu memiliki kemampuan membaca suasana dari desa tersebut, misalnya sosio kultural dari sebuah masyarakat. Sebagai fasilitator juga harus mampu meletakkan diri sebagai dari masyarakat desa tersebut. Penolakan pasti ada dari masyarakat, namun disinilah letak pembelajaran yang didapat yaitu mengetahui alasan kenapa mereka menolak kehadiran fasilitator. Terkait masalah gender di Aceh untuk khususnya di desa, keterlibatan perempuan masih kurang, bahkan terjadi penolakan karena masih dianggap masyarakat yang tidak setara dengan laki-laki. Pendapat perempuan masih dianggap tidak penting.
Pengkajian Penghidupan Berkelanjutan
Pada sesi selanjutkan dilanjutkan dengan pendekatan pengembangan kampung berkelanjutan melalui Pengkajian Penghidupan Berkelanjutan (PPB). Kampung Berkelanjutan merupakan bentuk implementasi dari sebuah komunitas terkecil dalam menerapkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) yang dapat dituangkan dalam rencana jangka pendek, menengah, dan panjang. Lalu bagaimana membangun kampung berkelanjutan? Pada umumnya rangkaian pembangunan kampung berkelanjutan sama dengan teori pembangunan lainnya. Rangkaian atau tahap yang perlu dilakukan antara lain: pengumpulan data dan informasi desa; identifikasi dan pemetaan masalah desa; penyusunan rencana strategis; pelaksanaan rencana aksi dan MEL.
PPB atau Sustainable Livelihood Approach (SLA) merupakan salah satu alat analisis yang dapat menggambarkan masalah dan potensi desa/kampung. Melalui PPB ini menggambarkan profil desa melalui 5 modal yang dimiliki oleh desa antara lain alam, manusia, sosial, fisik, dan dana. Pada sesi ini, peserta diminta untuk menyusun data yang diperlukan untuk menggambarkan kelima modal tersebut dengan mengelompokan ke dalam bentuk variabel, indikator, dan parameter.
Pengumpulan Data Desa secara Partisipatif
Pengumpulan data adalah kegiatan untuk mengungkap informasi suatu wilayah yang sedang dikaji. Dalam pembangunan kampung berkelanjutan, proses pengambilan data harus dilakukan secara partisipatif agar masyarakat memiliki rasa kepemilikan dan paham dengan kondisi desanya. Oleh karena itu, peran utama pengambilan data adalah masyarakat, sedangkan peran fasilitator/pendamping ialah membantu percepatan. Alat pengambilan data mengadopsi dari Participatory Rural Appraisal (PRA) atau Penilaian data secara partisipatif. Adapun Prinsip PRA anatara lain 1.) proses mendengar dan mempelajari sangat penting didalam pemberdayaan masyarakat; 2.) mengurangi bias, 3.) menggunakan waktu yang tepat; 4.) melihat perbedaan, tidak ada yang tertinggal; 5.) triangulasi; dan 6.) tim terdiri dari bidang yang multidisiplin.
Pemilihan alat pengumpulan data tergantung dengan kondisi lokasi kajian, sehingga dapat dimodifikasi dengan tidak mengubah kualitas data yang akan didapatkan. Beberapa jenis alat pengumpulan data adalah sketsa desa, transek, diagram harian, dan kalender musim.
Identifikasi dan Analisis Masalah
Setelah pengumpulan data, tahap selanjutnya dapat dibuat sebuah matriks yang menunjukkan kondisi aktual masing-masing modal serta kondisi ideal atau yang diharapkan untuk mengetahui apakah terjadi kesenjangan antara aktual dan ideal. Selain itu kita juga dapat membuat pentagon indikator keberlanjutan untuk lebih menggambarkan kondisi keberlanjutan dari lima modal desa. Pembuatan pentagon tersebut diawali dengan penentuan Indikator Keberlanjutan yang mengacu pada kesepakatan masyarakat, maupun kondisi ideal.
Saat menyelesaikan suatu masalah, terkadang masalah tersebut tidak tuntas terpecahkan, bahkan masalah tersebut terjadi kembali dengan skala yang lebih besar. Hal ini dikarenakan, kita belum memahami masalah tersebut sampai ke akarnya. Oleh karena itu, sebelum ditentukan alternatif penyelesaian suatu masalah, diperlukan analisis masalah untuk menghindari kesalahan. Analisis pohon masalah merupakan analisis sebab-akibat dari sebuah masalah sehingga dapat ditemukan akar dari masalah itu sendiri. Pohon masalah merupakan salah satu metode yang dapat mempermudah kita dalam mencari masalah utama dan solusinya.
Perancangan Kampung Berkelanjutan
Dalam merancang program kampung berkelanjutan, yang pertama perlu ditentukan adalah Goals/Impact yang akan kita capai. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan transformasi Pohon Masalah menjadi Pohon Tujuan untuk menemukan Problem Statement. Setelah itu dapat dibentuk kerangka logis untuk program yang ingin dilakukan dengan format umum yang digunakan berupa matriks berisi Impact – Outcomes – Outputs – Activities – Inputs.
Merancang kampung berkelanjutan dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut
1. Menentukan lokasi
2. Koordinasi parapihak
3. Observasi awal/pemetaan stakeholder
4. Sosialisasi
5. Kesepakatan bersama
6. Pembentukan tim bersama
7. Pelatihan pengumpulan data
8. Pengumpulan data 5 modal
9. Analisis data
10. Perancangan Partisipatif dengan menyusun rencana strategis meliputi visi, misi, strategi, program (RPJM Des), Rencana Kegiatan/Program (RKP)
11. Implementasi
12. MEL
Perencanaan partisipatif menjadi hal krusial karena terlihat kegiatan mana yang membutuhkan input dan menjadi dasar strategi dalam penggalangan sumber dana, apakah dari dana desa, aspirasi, CSR, dana proyek. Jika RPJMDes sudah menyatakan kegiatan berdasarkan partisipatif maka akan mudah dalam melaksanakan kegiatan.
Selanjutnya peserta diminta untuk membuat perancangan kampung berkelanjutan di wilayahnya masing-masing dengan hasil akhir kerangka logis. Peserta dari Sumatera membuat perancangan kampung berkelanjutan dengan goals “Lingkungan Terjaga Masyarakat Sejahtera dan Bahagia”, peserta dari Kalimantan Barat dengan goals “Menjadikan Kebebu yang Berbudaya, Mandiri, Berkeadilan, Berkelanjutan Menuju Masyarakat yang Bahagia”, dan peserta dari Papua Barat dengan goals “Menjadi Kampung Ekowisata yang Mengelola Sumberdaya Alam Berkelanjutan, Mandiri, Mengikuti Perkembangan Jaman, dan Sejahtera dengan Tetap Berpegang pada Nilai Budaya, Adat, dan Agama”.
Monitoring, Evaluasi, dan Learning (MEL)
Materi Monitoring, Evaluasi, dan Learning (MEL) disampaikan oleh Didiek Surjanto (Community Forestry Specialist di WWF Indonesia). MEL merupakan salah satu contoh untuk mengukur apakah masyarakat menerima manfaat dari kegiatan.
Pembelajaran-pemanfaatan dari hasil monitoring dan evaluasi untuk memperkaya pemahaman dan kapasitas. Pembelajaran masyarakat yang dapat diambil antara lain dimensi sosial, belajar bersama/kolektif, memperkuat rasa saling tergantung, konstruktif, mengatasi konflik masayarakat yang muncul saat diskusi, dan perubahan yang paling ekstrim misalnya perubahan pola kekuasaan.
Belajar pengalaman dari yang terbaik. Untuk menghindari soal konflik, yang dibicarakan dapat berupa pengalaman terbaik, kemudian direfleksikan, apakah sudah sesuai atau belum dengan yang direncanakan, apakah ada kemungkinan terbaik yang dapat dicapai, ditambah imajinasi, apa yang bisa dilakukan, kemudian dilakukan uji coba. Memulai sesuatu dengan positif seperti apa yang berhasil dulu. Kemudian memberi penghargaan kepada sesuatu yang baik. Jika berangkat mulai dari hal yang positif, tahap selanjutnya akan lebih mudah dilakukan.
Contoh pertanyaan apresiatif saat melakukan MEL:
Perubahan-perubahan apa yang saja yang sudah anda alami selama ada program ini?
Dari perubahan-perubahan tersebut, mana perubahan yang paling berharga buat Anda?
Mengapa itu menjadi perubahan paling berharga?
Kapan perubahan mulai terjadi dan bagaiman proses terjadinya perubahan paling berharga tersebut?
Faktor apa saja yang mendukung terjadinya perubahan tersebut?
Dengan melaksanakan MEL dapat meningkatakan kapasitas pendamping dan masyarakat. Kegiatan monitoring perlu dilakukan secara berkala, evaluasi dilakukan akhir tahun atau program, dan learning/pembelajaran dapat dilakukan sewaktu-waktu, juga bisa dilakukan selama proses atau diikutkan bersama monev. Menurut Pak Didiek jangan jadikan MEL sebagai kewajiban, jadikan MEL sebagai peluang untuk meningkatkan diri sebagai pendamping dan masyarakat.
Comments